Kerap kali, kita mendengar keluhan para konsumen yang tidak mendapat
kualitas terbaik dari suatu pelayanan atau barang. Padahal, sebagai
konsumen, kita memiliki hak yang dilindungi. Selain ada UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), secara khusus, untuk
hal-hal yang lebih rinci dan teknis, masih ditegaskan dalam
undang-undang sektoral. Pendekatan inilah yang dipakai di Indonesia.
Berikut ini adalah hak-hak Anda sebagai konsumen yang perlu diketahui:
Instrumen yang dapat dipakai untuk melindungi kepentingan konsumen
dari ancaman gangguan kesehatan dan keamanan adalah manajemen risiko
preventif, antara lain dalam bentuk adanya sistem yang memungkinkan
tersedianya informasi tentang bahaya penggunaan suatu produk.
Ada dua macam peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap
kesehatan dan keamanan. Pertama, kontrol prapasar, yaitu sebelum suatu
produk mencapai pasar. Caranya adalah:
(1) Melalui instrumen perizinan. Suatu produk baru, baru boleh
dipasarkan kalau sudah lulus uji oleh laboratorium pemerintah. Contohnya
obat dan pestisida;
(2) Melalui pendaftaran pendahuluan (preregistration). Biasanya
hal ini diberlakukan melalui pembentukan standar-standar teknis yang
disusun oleh lembaga standarisasi nasional. Contohnya, produk mainan
anak. Produk ini sangat berpeluang menciptakan kecelakaan. Untuk itu,
mainan anak hanya boleh dipasarkan kalau sudah memenuhi standar teknis.
Produsen juga harus mendokumentasikan bahwa produknya telah memenuhi
standar teknis.
Kedua, kontrol pascapasar, yaitu berhubungan dengan produk yang
sudah beredar di pasar dan tidak aman. Bagaimana bila produk sudah
dipasarkan? Selama ini, secara internasional belum ada keseragaman
tentang bagaimana cara menarik produk yang tidak aman dari pasar.
Idealnya, produk-produk yang tidak aman harus di-recall dari pasar.
Di negara industri besar, sistem recall dapat dipakai untuk
menarik barang-barang yang berbahaya di pasar. Di samping itu,
pemerintah juga berhak memperingatkan konsumen secara terbuka. Dan
produsen, akibat pengumuman dari pemerintah, secara sukarela menarik
produk tersebut dari pasar. Di dalam konteks itu, (organisasi) konsumen
dapat memberikan informasi kepada pemerintah, tetapi tidak berhak
memaksa pemerintah untuk bersikat proaktif.
Hak atas keselamatan dan keamanan bagi konsumen tidak hanya
terbatas pada aspek kesehatan secara fisik, tetapi juga mencakup hak
atas keselamatan dan keamanan dari perspektif keyakinan/ajaran agama
tertentu. Misalnya, untuk konsumen muslim, suatu produk harus diproses
dan berbahan baku sesuai dengan hukum syariah, sehingga halal untuk
dikonsumsi, dan hal tersebut diinformasikan dalam label.
Hak ini erat kaitannya dengan keberadaan UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat.
Intinya, perlindungan konsumen, selain ditujukan kepada kualitas barang
dan jasa yang ada di pasar, juga barang dan/atau jasa yang dibutuhkan
konsumen yang ada di pasar, terdiri dari lebih dari satu merek,
sehingga konsumen bisa memilih.
Hak konsumen untuk memilih juga berkaitan dengan kondisi struktur
pasar, seperti: (1) mekanisme pasar berjalan secara sempurna atau
tidak. Setiap pelaku usaha bebas masuk dan keluar pasar suatu komoditas
baik berupa barang atau jasa secara bebas, tidak ada kendala (barrier)
dan perlakuan diskriminatif terhadap pelaku usaha tertentu; (2) pasar
terdistorsi atau tidak, seperti apakah ada pelaku usaha yang melakukan
penimbunan suatu komoditas tertentu, dengan harapan pasar terdistorsi
karena adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, yang
diikuti dengan kenaikan harga; (3) struktur pasar monopoli atau
kompetisi.
Dalam struktur pasar monopoli, seperti di sektor ketenagalistrikan
dan angkutan kereta api, konsumen tidak punya peluang untuk memilih.
Sebagai kompensasinya adalah pelaku usaha harus transparan, khususnya
mengenai struktur biaya produksi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
pelaku usaha menyalahgunakan situasi monopoli untuk memperoleh
keuntungan secara tidak wajar.
Definisi dasar dari hak ini adalah konsumen harus terinformasi (well informed).
Hal ini dimaksudkan agar konsumen dapat memenuhi peranannya sebagai
peserta atau komponen pasar yang bertanggungjawab yang bisa ditempuh
dengan cara antara lain, melalui deskripsi barang menyangkut harga dan
kualitas atau kandungan barang, yaitu melalui pengujian barang yang
mandiri.
Pemenuhan hak atas informasi bagi konsumen, tidak hanya terbatas
informasi satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek
untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan
antara satu merek dan merek lain untuk produk sejenis. Misalnya, untuk
produk detergen, konsumen bisa membandingkan tidak hanya harga, tetapi
juga zat aktif yang dipakai, klaim, serta daya pembersih masing-masing
produk detergen.
Konsumen harus dimintai konsultasi dan didengar terutama berkaitan
dengan keputusan-keputusan yang mempunyai dampak baik langsung maupun
tidak langsung terhadap konsumen. Sebagai mediator hak dan informasi
masalah konsumen, pemerintah bisa menggali, misalnya, melalui
asosiasi-asosiasi konsumen atau organisasi konsumen. Hak untuk
didengar dimaksudkan untuk melengkapi tanggungjawab pemerintah tentang
hak-hak konsumen. Bagaimanapun perlindungan konsumen sebagai
tanggungjawab pemerintah perlu didukung dengan partisipasi konsumen
atau organisasi konsumen.
Ada dua instrumen dalam mengakomodasi hak untuk didengar. Pertama,
melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka. Di
Jerman, misalnya, setiap konsep RUU yang berkaitan dengan konsumen,
baik itu usulan departemen maupun usulan parlemen, dapat dibaca oleh
umum, bahkan dapat dilihat secara bebas di rumah melalui fasilitas
akses internet.
Hak untuk didengar, tidak hanya meliputi hak untuk memperoleh
informasi, tetapi juga hak untuk berperan melalui public hearing
tersebut. Bahkan, hak untuk didengar dalam penyusunan RUU dapat
ditemukan di setiap negara demokratis. Kedua, melalui pembentukan
organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah.
Walaupun, khusus untuk UUPK, terbuka lebar kesempatan bagi organisasi
konsumen untuk berperan serta. Oleh sebab itu, adanya hak untuk
didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.
Hak ini memungkinkan konsumen memperoleh keadilan. Sebab, dengan
adanya hak ini, konsumen akan mendapat perlindungan hukum yang efektif
dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen
dan menjamin keadilan sosial.
Sarana atau cara untuk mencapai hal tersebut di atas bisa ditempuh melalui tiga cara.
Pertama, konsultasi hukum. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh
organisasi konsumen dan/atau instansi pemerintah yang mengurusi
perlindungan konsumen. Adanya tempat untuk berkonsultasi hukum ini
penting, khususnya bagi konsumen kelas menengah ke bawah yang umumnya
tidak mampu menggunakan jasa advokat komersial. Praktik yang terjadi di
Jerman, para advokat yang memberikan konsultasi hukum kepada konsumen
yang tidak mampu, dapat meminta ganti ongkos konsultasi kepada
pemerintah.
Kedua, menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class
action). Di Eropa, misalnya, tuntutan asosiasi konsumen sangat
berkembang khususnya untuk kasus iklan-iklan yang menyesatkan dan
perjanjian baku yang isinya memberatkan konsumen.
Implementasi mekanisme tuntuan hukum secara kolektif di Indonesia,
antara lain, dalam kasus advokasi korban pemadaman listrik Jawa Bali
(1997), advokasi menentang kenaikan harga elpiji (2002), dan advokasi
korban tabrakan KA Gaya Baru Malam dengan KA Empu Jaya di Brebes, Jawa
Tengah (2001). Kecuali kasus KA, semua gugatan ditolak oleh pengadilan.
Ketiga, adanya keragaman akses bagi konsumen individu, berupa
tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan
oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di
setiap pemerintah kota/kabupaten, didirikan oleh assosiasi industri
seperti Biro Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), serta Bidang Pengaduan
pada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan
secukupnya. Hal ini dimaksudkan agar konsumen dapat memenuhi peranannya
sebagai peserta atau pelaku pasar yang bertanggung jawab yang dapat
dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun
informal.
Perkembangan implementasi hak konsumen untuk mendapat pendidikan
pada umunya berlangsung dalam dua tahap. Pertama, pendidikan konsumen
terbatas dilakukan dalam lingkup pendidikan informal, pada umumnya
dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
perlindungan konsumen.
Kedua, pendidikan konsumen selain secara informal dilakukan masyarakat,
juga sudah diakomodasi dalam kurikulum pendidikan formal, baik di
tingkat preschool (Taman Kanak-Kanak) sampai perguruan tinggi. Beberapa
negara yang sudah memasukkan pendidikan konsumen dalam kurikulum di
sekolah formal, antara lain Tonga (1999), Samoa (1997), Papua Nugini
(1988), dan Fiji ( 1997).
Hal yang juga tidak kalah penting dalam pemenuhan hak untuk mendapat
pendidikan adalah kontribusi dan tanggung jawab pelaku usaha. Pelaku
usaha mempunyai kepentingan agar konsumen mengerti dengan benar produk
yang dibeli. Lazimnya, pengaduan pengguna kartu kredit di Indonesia
terjadi karena penerbit kartu kredit dalam memasarkan kartu kredit
lebih banyak mengejar target jumlah kepemilikan kartu kredit, daripada
menjelaskan secara utuh produk kartu kredit kepada konsumen. Hal itu
memberi kontribusi bagi munculnya berbagai masalah selama konsumen
menggunakan kartu kredit.
Dalam penjelasan Pasal 4 Huruf (g) UUPK disebutkan bahwa hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur, serta tidak
diskriminatif, berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya
miskin, dan status sosial lainnya. Kategori diskriminasi dalam pasal
di atas kurang lengkap. Seharusnya orang cacat, sebagai konsumen, juga
mempunyai hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.
Pengertian tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya
disparitas, adanya perlakuan yang berbeda untuk pengguna jasa/produk,
di mana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Dengan demikian,
bukan masuk pengertian diskriminatif, adalah adanya pelaku usaha yang
menyediakan beberapa subkategori pelayanan dengan tarif yang
berbeda-beda, sesuai dengan tarif yang dibayar konsumen.
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1) UUPK).
Bentuk ganti rugi dapat berupa: (1) pengembalian uang; (2) penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; (3) perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (2) UUPK).
Ada dua aspek penting dalam pemenuhan hak konsumen untuk mendapatkan
ganti rugi. Pertama, batas tanggung jawab pelaku usaha terhadap
kerugian konsumen akibat mengonsumsi suatu produk. Dalam arti sempit
terbatas pada tanggung jawab, bahwa pelaku usaha telah memproduksi
barang susuai dengan standar yang berlaku. dalam arti luas tanggung
jawab pelaku usaha sampai kepada adanya pembuktian unsur kesalahan
pelaku usaha sampai produk itu dikonsumsi konsumen. Kedua, kerugian
yang dapat diklaim oleh konsumen akibat menkonsumsi suatu produk.
Dalam arti sempit terbatas pada biaya yang timbul. Dalam arti luas
termasuk juga kerugian dalam bentuk potensi pendapatan yang hilang dan
juga kerugian immateriil.
Dicantumkannya hak-hak seperti tersebut di atas menegaskan bahwa,
UUPK adalah undang-undang payung; hak konsumen dalam UUPK tidak
bersi-fat statis tetapi dinamis. Artinya, di-mungkinkan adanya hak
konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.
UU Kesehatan, misalnya, secara terbatas telah memuat hak-hak pasien.
Namun, rumusan hak-hak pasien dalam UU Kesehatan masih mengandung
persoalan. Pertama, soal interpretasi. Pencantuman hak-hak pasien dalam
UU Kesehatan ada dalam penjelasan pasal demi pasal, khususnya
penjelasan Pasal 53 ayat (2). Sampai seberapa jauh ke-tentuan dalam
penjelasan mempunyai kekuatan hukum, akan menjadi perde-batan.
Kedua, masih dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2), diatur bahwa yang
disebut dengan hak pasien, antara lain: (1) hak informasi; (2) hak untuk
memberikan persetujuan; (3) hak atas rahasia kedokteran, dan (4) hak
atas pendapat kedua (second opinion). Kata antara lain membuka peluang,
bahwa selain hak-hak pasien yang secara eksplisit ada dalam penjelasan
Pasal 53 ayat (2), masih ada hak-hak pasien yang lain, seperti hak
atas persetujuan untuk diikutkan dalam suatu proyek penelitian di
bidang kesehatan dan hak atas catatan rekam medis di rumah sakit.
Selain dokter dan rumah sakit, pihak lain – seperti perusahaan farmasi
dan perusahaan asuransi – tidak berhak mempunyai akses kepada catatan
medis tanpa persetujuan pasien yang bersangkutan.
No comments:
Post a Comment